Sejak ditinggal sang kakek, nenek Ningrat Maryani tinggal sendiri di rumahnya yang begitu besar di Padang, Sumatra Barat. Kehidupannya yang biasa ditemani oleh suami tercinta, kini dijalaninya sendiri. Wanita berusia 72 tahun ini memang keturunan keluarga ningrat di Jawa Barat. Dulu, ia rela meninggalkan kehidupan mewahnya hanya untuk menikah dengan sang kakek, seorang prajurit kecil TNI.
Melihat keadaan ini, anak-anaknya yang semua tinggal di luar Padang pun menawarkan mencari pembantu. Selain sebagai teman, pembantu bisa mengerjakan pekerjaan di rumah besar tersebut, seperti mengepel rumah, menyapu mushola, atau mencuci baju nenek. Tawaran itu malah membuat nenek Maryati marah besar.
Sebagai jalan keluar, ia malah menetapkan aturan, setiap hari sabtu dan ahad, beberapa cucunya yang masih tinggal di Padang harus secara bergantian menemaninya bermalam. Mendengar “ketetapan” sang nenek, gantian Istiqomah Rahmawati, salah seorang cucu menjadi bingung. Itu artinya, setiap Sabtu dan Ahad ia bakal kehilangan waktunya bermain bersama teman-teman.
Setelah menjalani “tugasnya”, perempuan yang akrab disapa Rahma ini berpendapat, keberadaannya sebenarnya hanya untuk membuat nenek merasa nyaman. Nenek merasa ada seseorang yang menjaganya.” Misalnya ketika tengah malam, dia bangun karena haus, dan ingin minta minum. Atau ketika mau pipis, aku yang nganterin dan memapahnya ke kamar mandi,” ungkap perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain itu, Rahma juga membantu nenek mengambilkan bajunya di lemari usai mandi, dan menaburkan bedak bubuk ke punggung nenek sebagai anti biang keringat. Sepulang sekolah, Sabtu sore sebelum Maghrib ia wajib sudah berada di rumah nenek. “tidak boleh telat, karena harus menutup gorden-gorden dan kaca jendela rumah nenek. Maklum, nyamuk Sumatra ganas-ganas,” tuturnya.
Namun, meski sudah melakukannya, Rahma tetap saja banyak dikoreksi. Begitu pula ketika waktu sholat tiba. “gue paling sering kena omel kalo lagi melipat mukena,” katanya.
Nenek selalu mengatakan, sarung wajah pada mukena, waktu dilipat harus berada di posisi paling atas, dengan lubangnya juga mendongak ke atas. “Biar Kering,” katanya. Itu hanya salah satu yang sering diributkan.
Pengalaman tersebut telah berlalu tujuh tahun silam. Sekarang, ketika Rahma berada di Jakarta.
Beberapa bulan lalu, nenek berkunjung ke tempatnya. Rahma memberikan selembar handuk bertuliskan “Rahma Sayang Nenek”. Hal yang sama sekali tak pernah disangkanya terjadi ketika nenek telah sampai di Padang. Dari informasi Ibunya, Rahma mengetahui, nenek memamerkan handuk Terry Palmer dengan Bordiran nama itu ditunjukkan kepada semua orang, sanak saudara maupun tetangga.
Tak hanya itu, nenek Maryati juga mengatakan, handuk itu tidak akan pernah digunakan, hingga ia tiada. “nenek berpesan,” nanti kalo kalian mandiin jasad nenek, tolong di lap pake handuk ini,”ujar Rahma menirukan kata-kata sang nenek. Ia pun begitu terharu mendengar cerita ibunya tersebut.
Padahal menurutnya, handuk pemberiannya itu hanya seharga Rp 100.000,-. Tapi ternyata nenek sangat menghargai pemberian gue, dan itu bikin gue tambah sayang nenek, meskipun dia sering ngomel-ngomel.”
Subhanallah…
Sebagai jalan keluar, ia malah menetapkan aturan, setiap hari sabtu dan ahad, beberapa cucunya yang masih tinggal di Padang harus secara bergantian menemaninya bermalam. Mendengar “ketetapan” sang nenek, gantian Istiqomah Rahmawati, salah seorang cucu menjadi bingung. Itu artinya, setiap Sabtu dan Ahad ia bakal kehilangan waktunya bermain bersama teman-teman.
Setelah menjalani “tugasnya”, perempuan yang akrab disapa Rahma ini berpendapat, keberadaannya sebenarnya hanya untuk membuat nenek merasa nyaman. Nenek merasa ada seseorang yang menjaganya.” Misalnya ketika tengah malam, dia bangun karena haus, dan ingin minta minum. Atau ketika mau pipis, aku yang nganterin dan memapahnya ke kamar mandi,” ungkap perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain itu, Rahma juga membantu nenek mengambilkan bajunya di lemari usai mandi, dan menaburkan bedak bubuk ke punggung nenek sebagai anti biang keringat. Sepulang sekolah, Sabtu sore sebelum Maghrib ia wajib sudah berada di rumah nenek. “tidak boleh telat, karena harus menutup gorden-gorden dan kaca jendela rumah nenek. Maklum, nyamuk Sumatra ganas-ganas,” tuturnya.
Namun, meski sudah melakukannya, Rahma tetap saja banyak dikoreksi. Begitu pula ketika waktu sholat tiba. “gue paling sering kena omel kalo lagi melipat mukena,” katanya.
Nenek selalu mengatakan, sarung wajah pada mukena, waktu dilipat harus berada di posisi paling atas, dengan lubangnya juga mendongak ke atas. “Biar Kering,” katanya. Itu hanya salah satu yang sering diributkan.
Pengalaman tersebut telah berlalu tujuh tahun silam. Sekarang, ketika Rahma berada di Jakarta.
Beberapa bulan lalu, nenek berkunjung ke tempatnya. Rahma memberikan selembar handuk bertuliskan “Rahma Sayang Nenek”. Hal yang sama sekali tak pernah disangkanya terjadi ketika nenek telah sampai di Padang. Dari informasi Ibunya, Rahma mengetahui, nenek memamerkan handuk Terry Palmer dengan Bordiran nama itu ditunjukkan kepada semua orang, sanak saudara maupun tetangga.
Tak hanya itu, nenek Maryati juga mengatakan, handuk itu tidak akan pernah digunakan, hingga ia tiada. “nenek berpesan,” nanti kalo kalian mandiin jasad nenek, tolong di lap pake handuk ini,”ujar Rahma menirukan kata-kata sang nenek. Ia pun begitu terharu mendengar cerita ibunya tersebut.
Padahal menurutnya, handuk pemberiannya itu hanya seharga Rp 100.000,-. Tapi ternyata nenek sangat menghargai pemberian gue, dan itu bikin gue tambah sayang nenek, meskipun dia sering ngomel-ngomel.”
Subhanallah…
0 komentar :
Posting Komentar